FALSAFAH
HAYY IBN YAQZAN
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah
“Sejarah Pemikiran Islam”
Dosen Pengampu:
Prof.
Dr. H. Mujamil Qomar, M.Ag
Dr.
Ngainun Na’im, M.Hi
Oleh:
MOHAMAD JULIANTORO (2841134015)
PROGRAM
PASCASARJANA
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
TULUNGAGUNG
DESEMBER
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Peradaban Islam
melahirkan banyak ahli filsafat yang ternama. Namun entah mengapa filsafat dan
kesusastraan Islam tetap dianggap sebagai satu kelompok yang hilang dalam
sejarah pemikiran manusia. Jangan heran bila dalam studi sejarah pemikiran,
lebih mengenal tokoh-tokoh yang berasal dari Yunani dan Barat ketimbang dari
Islam.
Meskipun para
ulama Islam yang ahli
di bidang pemikiran dan kebudayaan seperti seperti al-Ghazali, Ibnu Thufayl, al-Kindi, al-Farabi,
dan Ibn Sina dianggap brilian, namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya
dibandingkan dengan tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Hal ini
dikarenakan beberapa ulama dan sarjana kita, tampaknya kurang tertarik untuk
mengkaji dan mengkomentari sejumlah karya-karya ulama dan cendekiawan muslim
terdahulu yang karyanya monumental dan susah dicari tandingannya.
Ilmu istimewa yang mencoba
menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa
karena masalah-masalah tersebut di luar jangkuan ilmu pengetahuan biasa, inilah
yang merupakan pengertian dari definisi filsafat.
Filsafat
Islam merupakan suatu ilmu yang di pelajari dengan ajaran Islam dalam membahas
hakikat kebenaran segala sesuatu.
Dalam
makalah ini, pemalah sedikit menjelaskan tokoh filsafat, yakni Ibnu Thufail
mengenai tentang riwayat hidup dan
karyanya, ajaran filsafat yang didalamnya terdapat metafisika, jiwa,
rekonsiliasi antara filsafat dan agama . Yang
akan di paparkan dalam bab selanjutnya.
Islam telah
mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan tuhan (tauhid) dan syariah, jauh sebelum
filsafat Yunani ‘merasuki’ dunia Islam[1]. Begitu dominannya
pandangan tauhid dan syariah ini, sehingga tidak ada suatu sistem pun, termasuk
filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan tauhid dan pandangan syariah.
Meskipun demikian,
bukan berarti umat Islam anti terhadap filsafat. Hal ini terbukti dengan
lahirnya sejumlah filosof muslim yang memiliki independensi dalam alam berpikir tanpa tertawan oleh
Platonisme dan Aristotelian[2]. Bahkan, filosof muslim
mampu melakukan kritikan terhadap beberapa pandangan filosof-filosof Yunani
tersebut serta memberikan solusi yang mencerahkan dunia pemikiran.
Untuk
menunjukkan sisi dari kontribusi muslim Spanyol abad pertengahan dalam ranah
filsafat akan penulis ketengahkan nama Ibnu Thufayl yang merupakan tokoh
filosof muslim Neo-Platonis Spanyol yang telah mencapai orisinalitas karya yang
sedemikian rupa yang hidup pada masa pemerintahan dinasti Al-Muwahidin. Ibnu Thufayl memberikan gambaran
tentang sebuah simpul social, yang mengubah urutan situasi pikiran dari
ketiadaan panca indera menuju kepada isolasi budaya. Tujuan utama Ibnu Thufayl
adalah untuk menunjukkan apa yang dapat ditemukan oleh intelejensia manusia
tanpa adanya bantuan dari pihak di luar dirinya yang bersifat ketuhanan, yang
menanamkan pengetahuan – penerimaan mengenai ide-ide dan kecenderungan untuk
secara aktif melakukan pencarian seperti yang telah ditegaskan al-Ghazali
terhadap dirinya sendiri dan apa yang telah dilakukan oleh Aristoteles dengan
menyusun sebuah premis ketika dia mengawali bukunya, Metaphysics, dengan
kata-kata, “seluruh manusia secara naluri ingin mencari tahu”.
Ibnu Tufail
berada di suatu tingkat yang ajaib dalam ilmunya, yakni berada dalam tingkat
mistik yang penuh kegembiraan. Beberapa orang menganggapnya sebagai
orang panties yaitu orang yang menganggap tidak ada beda lagi antara dirinya
dengan Tuhan. Anggapan ini ternyata salah. Ia sebenarnya hanya seperti juga Al
Gazali , merasa telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi seperti katanya:
”Fakana makana mimma lastu adkuruhu. Fadhonnu khoiran wala tasal anil khobari.”
(terjadilah sesuatu yang tidak akan disebutkan akan tetapi sangkalah dia
sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang beritanya).
Masing-masing filosof
muslim tersebut memiliki titik fokus dan cara berfilsafat yang menarik untuk dikaji.
Di antaranya terdapat nama Ibnu Thufail. Filsof muslim yang satu ini berupaya
menyajikan filsafat dalam bentuk yang unik. Melalui sebuah roman alegoris, ia
mencoba menampilkan materi filsafat yang cenderung ‘pelik’ dipahami oleh
sebagian orang. Ia wujudkan filsafat dalam bentuk sebuah karya yang ringan
sehingga dapat dibaca di ruang keluarga saat beristirahat dari rutinitas
sehari-hari. Hayy ibn Yaqzhan,
itulah roman Ibnu Thufail yang monumental yang masih dapat kita nikmati sampai
saat sekarang.
Pada makalah ini,
penulis akan menyajikan tentang pemikiran Ibnu Thufail melalui roman Hayy Ibn
Yaqzhan. Diawali dengan biografi dan disertai dengan hikmah yang terdapat dalam
roman Hayy Ibn Yaqzhan.
A. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah Ibnu Thufail ?
2. Apa saja karya-karya Ibnu Thufail ?
3. Bagaimana pemikiran atau ajaran filsafat Ibnu Thufail ?
B. Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk mengetahui sejarah Ibnu Thufail
2. Untuk mengetahui apa saja karya-karya Ibnu Thufail
3. Untuk mengetahui pemikiran dan filsafat Ibnu Thufail
C. Batasan Masalah
Kami
selaku penyusun membatasi pembahasan hanya sampai pada rumusan masalah yang
telah disebutkan diatas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Filsuf muslim
kedua belahan barat ini hidup pada masa pemerintahan daulah Muwahhidun.[1]Nama
lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu ‘Abd Al-Malik ibnu Muhammad
ibnu Muhammad ibnu Thufail (أبو بكر بن
عبد الملك بن محمد بن طفيل القيسي الأندلسي.). Ia dilahirkan di Cadix, provinsi Granada,
Spanyol pada tahun 506 H/1110M.[2]
Dan meninggal di kota Marraqesh, maroko pada tahun 581 H/1185 M. Ibnu Thufail
termasuk keturunan dalam keluarga suku Arab terkemuka, Qais. Dalam bahasa latin
ia populer dengan sebutan Abu Bacer. Sebagai seorang turunan suku Qais, ia
dengan mudah mendapat fasilitas belajar, apalagi kecintaanya kepada buku-buku
dan ilmu pengetahuan mengalahkan cintanya kepada sesama manusia.[3]
Sebagaimana
filosof-filosof Muslim di masanya (juga filosof-filosof yunani), Ibnu Thufail
juga memiliki disiplin ilmu dalam berbagai bidang (all round).Selain
sebagai filosof, ia juga ahli dalam ilmu kedokteran, matematika, astronomi, dan
penyair yang sangat terkenal dari Dinasti Al-Munawahhid Spanyol. Ia memulai
kariernya sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenaranya sebagai dokter,
ia diangkat menjadi sekretaris gubernur di provinsi itu.[4]
Kemudian, ia diangkat sebagai dokter pribadi Abu Yusuf Ya’qub al-Manshur,
khalifah daulah Muwahhidin (1163-1184 M), merangkap sebagai wazirnya.[5]
Pada masa
Khalifah Abu Ya’qub Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh besar dalam
pemerintahan. Pada pihak lain, Khalifah sendiri pecinta ilmu pengetahuan dan
secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat.
Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan
membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault, sebagai “tempat kelahiran
kembali negeri Eropa.” Adapun posisi Ibnu Thufail di sini adalah pakar dalam
pemikiran filosofis dan ilmiah (sains) tersebut.
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu
digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap
mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581
H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir
dalam upacara pemakamannya.[6]
Namun bukan semua itu yang menjadikan nama Ibnu Tufail
dikenang dalam sejarah Islam bahkan sejarah dunia. Sebuah master-piece Ibn Tofail berjudul "حي بن يقظان" Hayy ibnu Yagzan
(kehidupan anak kesadaran), di Barat dikenal sebagai: Philosophus Autodidactus)
telah menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah sebagai salah satu karya
paling berharga yang pernah ada di bidang filsafat.
Dalam mengarang buku ini Ibnu Tufail banyak
terpengaruh filsafat Plato. Pemikhran-pemikiran filosofis Ibn Tofail ketika
menulis buku ini telah mencapai taraf yang paling matang. Ditulisnya
pemikiran-pemikirannya dalam bentuk novel alegori sembari menawarkan sebuah
korelasi filsafat antara akal dan agama dalam pencarian kebenaran hakiki.[7]
Semasa
hidupnya Ibnu Thufail menerima penghargaan dari khalifah. Ketika meninggalpun,
khalifah ikut menghadiri upacara pemakamannya. Karya tulis yang masih dapat
ditemukan sampai sekarang ialah hayy ibn Yaqzhan (Roman Philosophique),
yang judul lengkapnya hayy ibn Yaqzhan
fi Asrar al-Hikmat al-Masyariqiyyah.[8]
B.
Karya-Karya Ibnu
Tufail
Sejarah mencatat bahwa Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd sering berbincang, berdebat dan saling
evaluasi seputar masalah-masalah kedokteran dan filsafat. Evaluasi dan
perdebatan mereka yang khusus membicarakan tentang kedokteran kemudian dicatat
oleh Ibnu Tufail dalam karyanya "مراجعات ومباحث" (Muraja'at wa Mabahits;
Revisi-revisi dan pembahasan -red). Lalu catatan tulisan ini oleh Ibnu Rusyd
dimasukkan menjadi bagian dari salah satu karangannya: "الكليات" (al-Kulliyyat). Karya
kedokteran lain dari Ibnu Tufail yang masih bisa dinikmati adalah "الأرجوزة في
الطب" (Arjuzah
fi at-Thib) sepanjang 7700 bait, sekarang masih tersimpan di perpustakaan Jami'
al-Qarawiyyin Fes - Maroko dalam bentuk manuskrip.[9]
Selain mumpuni di bidang kedokteran, Ibnu Tufail juga
merupakan master bidang astronomi. Teori-teori briliannya di bidang ilmu
perbintangan secara ringkas dilukiskan oleh Lyon Goteh (?)-seorang orientalis
Perancis: "Walaupun tidak ditemukan tulisan-tulisan Ibnu Tufail di bidang
astronomi, namun kita tahu bahwa dia tidak setuju dengan teori system jagat
raya yang diletakkan Batlimus, bahkan Ibnu Tufail telah memiliki teori
baru". Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Ibn Rusyd bahwa Ibnu Tufail
memiliki teori-teori sensasional sekitar system jagat raya dan dasar-dasar
perputarannya.[10]
Miquel Casiri ( 1112 H/1710 M
-1205 H/1790 M ) menyebutkan dua karya yang masih ada: risalah hay ibn yaqzan
dan asrar Al hikmah Al mashariqiyah, yang disebut terakhir ini berbentuk
naskah. Kata pengantar dari asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan
satu bagian dari risalah Hay Ibn Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risalah
Hayy Ibn Yaqzan fi Asrar Al hikamat Al mashariqiyah.
Beberapa karya Ibnu Tufail yang
terkenal adalah sebuah buku filsafat yang berjudul Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan
anak kesadaran”) karya ini memang sama dengan buah karya Ibnu Sina yang
diakunya sendiri berisikan kebijaksanaan timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah yang menjadi pokok pikiran Ibnu Tufail dalam
buku ini. Seperti diakui Ibnu Tufail, pokok pikiran ini bisa diidentifikasi
sebagai tasawwuf yang kala itu ditolak oleh kebanyakan filosof muslim termasuk
Ibnu Bajjah. Diskursus rasional, menurut para filosof anti tasawuf bertolak
belakang dengan pengalaman mistis yang oleh para ahli diyakini bersifat ektra
rasional dan tak terperikan.
C. KISAH HAY BIN YAQAZHAN
Untuk
memaparkan pandangan-pandangan filsafat, Ibnu Tufail memilih metode khusus
dalam bentuk kisah filsafat, dengan bukunya yang terkenal Hayy Ibn Yaqzhan.
Kisah ini ditulis oleh ibnu Thufail sebagai jawaban atas permintaaan seorang
sahabatnya yang ingin mengetahui hikmah ketimuran (al-Hikmah
al-Masyriqiyyat)[11].Selain
itu berat dugaan tulisan Ibnu Thufail ini erat kaitannya dengan serangan
Al-Ghazali terhadap dunia filsafat. Di kala itu, orang-orang takut berfilsafat
dan usaha-usaha pada filosof Muslim yang telah mendamaikan filsafat dengan
agama telah sirna sama sekali. Juga buku-buku filsafat yang selama ini hanya
untuk orang-orang tertentu, sekarang telah dapat pula dipahami oleh orang-orang
awam. Karena itu, amat logis buku Ibnu Thufail ini ingin menetralisasi keadaan
dan ingin mengembalikan filsafat ketempat yang semula, yakni filsafat bukanlah
“barang” haram. Pada sisi lain, agar filsafat dapat dimengerti oleh orang-orang
awam, filsafat dikomunikasikan lewat kisah yang amat menarik. Biasanya
komunikasi melalui kisah (cerita), diminati, dan cepat diterima. Dengan
demikian, bila hal ini dapat diterima, tujuan yang hendak dicapai Ibnu Thufail
melebihi akibat serangan Al-Ghazali, yakni ingin memasyarakatkan filsafat.
Dalam kisah
dapat dilihat pendirian Ibnu Thufail tentang hubungan manusia dengan Allah,
manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan antara
akal dan agama.
Sebelum
menulis kisah ini, Ibnu Thufail telah mendalami pandangan filosof-filosof
muslim sebelumnya. Hal ini terbukti dengan adanya kritik-kritik yang ia
lontarkan terhadap Ibnu bajjah, Al-Farabi, Ibnu Shina dan Al-Ghazali.
Ibnu Bajjah ia
nilai tidak berpandangan jauh, membangun filsafat hanya atas dasar
kaidah-kaidah akal dan logika, sedangkan dasar pengalaman yang bersifat kasyf
ruhana (tasawuf) tidak mendapat perhatian.[12] Al-farabi ia pandang
bersikat ragu-ragu dan tidak memberikan kepastian dalam masalah-masalah filsafat,
seperti dalam bukunya, al-Millat al-Fadhilat) akan kekalnya selamanya
sesudah mati dalam kesengsaraan, tetapi dalam bukunya al-siyasat al
madaniyyat, ia nyatakan pula bahwa yang kekal hanya jiwa utama (al-nufus
al-fadhilat)[13]. Ibnu Sina ia kritik sebagai filosof yang
tidak konsisten. Ibnu Sina menulis kitab al-Syifa’ dan menyatakan berdasarkan
mazhab Aristoteles. Kata Ibnu Thufail, banyak hal yang disebut Ibnu Shina dalam
al-Syifa’ tidak ada dalam buku aristoteles. Disisi lain, gaya bahasa Ibnu Sina
sering tidak dipahami maksudnya.[14]
Al-Ghazali menurut Ibnu Thufail banyak menulis buku yang ditujukan bagi
orang-orang awam. Akibatnya, ia mempunyai pendirian “dua muka” (munafik). Dalam
buku Tahafut al-Falasifat, Al-Ghazali mengafirkan para filosof Muslim
yang berpendapat bahwa di akhirat nanti akan menerima pembalasan kesenangan
(surga) atau kesengsaraan (neraka) adalah rohani semata. Namun, dalam buku al-mizan
dan al-munqiz min al dhala, ia membenarkan dan menerima pendapat para
filosof Muslim yang ia kafirkan itu.[15] Dengan demikian berati
Al-Ghazali mengafirkan dirnya sendiri.
Sebelum filsafat Ibnu Thufail dipaparkan lebih jauh, ada baiknya
dikemukakan ringkasan kisah Hayy Ibn Yaqzan sebagi berikut: [16]
Dikepulauan
India ada sebuah pulau yang tidak berpenghuni manusia. Pulau itu sepi dan
terpencil, beriklim sedang dan teletak di garis khatulistiwa yang oleh Harun
Nasution dikatakan Kepulauan Indonesia. [17]
Pendapat ini ada benarnya karena Kepulauan Indonesia dilewati garis
Khatulistiwa. Selain itu, kebiasaan masa lalu menyebut Kepulauan Timur ini
dengan Kepulauan India. Di pulau ini lahir seorang bayi secara alamiah, tanpa
ayah dan ibu. Berarti tulisannya ini Ibnu Thufail mendukung teori evolusi.
Riwayat lain
menyebutkan seorang perempuan telah kawin rahasia dengan seorang laki-laki dan
memperoleh seorang bayi laki-laki karena takut kepada kakaknya yang menjadi
raja ditempat itu, perempuan ini memasukkan bayinya ke dalam peti dan
melemparkannya ke laut. Dengan hempasan ombak, peti itu tersangkut di pulau
terpencil yang tidak berpenghuni manusia. Bayi yang dimaksud adalah Hayy.
Seekor rusa yang anaknya baru saja mati segera mendekati peti. Peti yang ada
dalam peti itu ia kira anaknya. Sebagai lazimnya seorang ibu, rusa menyusui
bayi itu dan sebaliknya bayi itu memandang rusa yang menyusuinya sebagai
ibunya.
Hayy tumbuh
dengan sehat. Sejalan dengan pertumbuhan jasmaninya, jiwa dan pemikirannya
semakin berkembang. Ia memperhatikan dan mulau berpikir tentang segala sesuatu
yang ada disekitarnya. Ia menemukan cara memenuhi kebutuhan hidupnya. Perasaan
dan pikirannya mendorong untuk mengambil keputusan bahwa alat kelaminnya perlu
ditutup. Lebih daripada itu ia mampu mempergunakan akalnya sedemikian rupa
sehingga dapat memahami hakikat alam empiris dan mampi berfikir hal-hal yang
bersifat metafisis. Berkat rahmat Allah ia memiliki kecerdasan yang luas biasa.
Pemikirannya yang mendalam tentang segala sesuatu yang ditangkap pancaindra,
menimbulkan keyakinan adanya Allah, pencipta alam semesta. Keyakinan akan
adanya Allah sebagai kebenaran yang hakiki, mendorong Hayy untuk berusaha
berhubungan dan dekat dengan-Nya. Melalui pemikiran falsafi. Ia mengetahui
hakikat-hakikat alam. Ia pun memperoleh ma’rifah hakiki dan kebahagiaan yang
sejati. Untuk mencapai maksut tersebut, ia melatih diri dengan berpuasa selama
40 hari dalam sebuah gua. Dengan penuh kesungguhan (ber-mujadat) dan
keiklasan, ia berusaha membebaskan dirinya dari duniaempiris melalui komtempelasi
penuh kepada Allah. Akhirnya ia memperoleh apa yang ia kehendaki yakni ittihad
(menunggal dengan Allah) atau ittishal (berhubungan langsung) dengan
Allah terus-menerus. Ibnu Thufail berusaha mendramatisikan perkembangan nalar
teoritis manusia dari persepsi rasa yang masih kasar menjadi visi indah tentang
Allah.
Di saat ia
berada dalam situasi dan pengalaman esoteris seperti itu, ia berjumpa dengan
seorang laki-laki, namanya Absal. Absal datang dari suatu pulau yang tidak
begitu jauh dari tempat tinggal Hayy. Absal mengira bahwa pulau dimana Hayy
berada, tidak berpenghuni manusia dan ia kira cocok untuk mengasingkan diri
dari masyarakat. Di pulau ini ia berusaha untuk menjalanka ketakwaan dan
kesalehan. Hayy tidak memahami bahasa manusia. Setelah absal mengajarinya,
keduanya berkomunikasi secara lancar, saling menceritakan pengalaman
masing-masing, dan saling bertukar pikiran. Absal memberitahu Hayy tentang
konsep-konsep Qur’ani, yang berkenaan dengan Allah, malaikat-malaikat,
nabi-nabi dan lain-lain.
Melalui
informasi yang diperoleh dari Absal, Hayy menyadari bahwa metode falsafi ia
miliki telah membawa dirinya ketingkat pengetahuan dan ma’rifat yang sejalan
dengan ajaran agama yang diceritakan Absal. Ia pun tahu bahwa orang yang
membawa keterangan dengan ucapan yang benar itu adalah rasul dan ia percaya
kepadanya dan mengakui kerasulannya. Sebaliknya, Hayy juga menjelaskan
pengalamannya dengan Allah kepada Absal. Keterangan Hayy ini memperkuat
keyakinan Absal tentang ajaran agama yang diterimanya dan bertemulah akal dan
wahyu (al-manqul wa al-ma’qul)[18]atas
ajakan Hayy bermaksud memberitahukan ma’rifah hakiki yang ia peroleh kepada
penghuni kepulau itu.
Pulau itu
diperintah oleh seorang raja yang bernama Salman, sahabat Absal. Salman
menerima ajaran agama seperti yang disampaikan nabi, dengan kata lain Salman
lebih tertarik pada arti lahir (eksoteris) nash. Ia menyukai hidup ditengah
masyarakat dan melarang orang lain untuk hidup menyepi, ‘uzlah.
Setelah absal
mengemukakan ilmu ma’rifat hakiki yang dialami Hayy, penduduk pulau itu
menerima Hayy dengan penuh antusias. Namun, setelah Hayy menjelaskan
pengetahuan dan pemikiran filsafatnya, ternyata penduduk mencemoohnya. Hayy
mendapat pelajaran dari pengalamannya bahwa orang awam tidak memahami dan tidak
mampu menerima ma’rifat sejati. Ma’rifat hanya dapat dipahami oleh orang-orang
khusus, yang dalam agama telah mencapai martabat lebih tinggi dibandingkan
dengan orang awam. Orang awam tidak mempu menjangkau konsep-konsep murni. Hayy
pun menyadari bahwa pergaulan membawa kerusakan bagi masyarakat dan untuk
memperbaikinya sangat diperlukan ajaran agama yang dibawa oleh nabi. Karena
nabilah yang paling mengenal jiwa manusia pada umumnya. Ia mohon maaf pada
salman dan warganya, dan mengakui kekeliruannya sendiri karena memaksa mereka
mencari makna yang tersembunyi dalam kitab suci al-quran. Pesan perpisahannya
ialah mereka harus berpegang teguh kepada ketentuan hukum syariat yang telah
mereka yakini selama ini. Mereka mengisi sisa umurnya dengan beribadah
sepenuhnya kepada Allah
D. Ajaran
Filsafat Ibnu Thufail
Secara filosofis, karya Ibnu Thufail Hay ibn Yaqzan merupakan suatu
pemaparan yang hebat tentang teori Ibnu Thufail mengenai pengetahuan, yang
berupaya menyelaraskan Aristoteles dengan Neo-Platonis di satu pihak, dan
Al-Ghazali dengan Ibnu Bajjah dipihak lain. Al-Ghazali sangat kritis dan dogmatis
terhadap rasionalismenya Aristoteles, tetapi Ibnu Bajjah adalah pengikut sejati
Aristoteles. Ibnu Thufail, mengikuti jalan tengah menjembatani jurang pemisah
antara dua pihak itu. Sebagai seorang rasionalis, dia memihak Ibnu Bajjah dalam
melawan Al-Ghazali dan mengubah tasawuf menjadi rasionalisme. Adapun sebagai
seorang ahli tasawuf, dia memihak Al-Ghazali dalam melawan Ibnu Bajjah dan
mengubah rasionalisme menjadi tasawuf.[19]
1. Metafisika
(ketuhanan)
Dengan akalnya
Hay, ia telah mengetahui adanya Allah. Dalam membuktikannya adanya Allah, Ibnu
Thufail mengemukakan tiga argumen sebagai berikut.
a. Argumen gerak (al-harakat)
Gerak alam ini menjadi bukti tentang adanya
allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu maupun bagi orang yang
menyakini alam kadim.
Bagi yang yang menyakini alam baharu (hadist),
berarti alam ini sebelumnya tidak ada, kemudian menjadi ada. Untuk menjadi ada
mustahil dirinya sendiri mengadakan. Oleh karena itu, mesti ada penciptanya.
Pencipta inilah yang menggerakkan alam dari tidak ada menjadi ada, yang
disebutnya dengan allah. Sementara itu, bagi orang yang menyakini alam kadim,
tidak berawal dan tidak berakhir. Karena zaman tidak mendahuluinya, arti kata
gerak ini tidak didahului oleh diam. Adanya gerak ini menunjukkan secara pasti
adanya Penggerak (Allah).[20]
Secar faktual, disinilah terletaknya
keistimewaan argumen gerak Ibnu Thufail yang dapat membuktikan Allah, baik bagi
orang yang menyakini alam kadim maupun orang yang menyakini alam baharu. Bagi
orang yang menyakini alam kadim, penggerak ini berfungsi mengubah materi di
alam dari potensial ke aktual, arti kata mengubah satu bentuk ada kepada bentuk
yang lain. Sementara itu, bagi orang yang menyakini alam baharu, pengerak ini
berfungsi mengubah alam dari tidak ada (al-adam) menjadi ada.
Argumen gerak ini sebagai bukti alam kadim dam baharunya belum pernak
dikemukakan oleh filosof muslim mana pun sebelumnya. Dengan argumen ini, Ibnu
Thufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya
Allah.
b. Argumen materi (al-madat) dan
bentuk (al-shurat)
Argumen ini didasarkan pada ilmu fisika dan
masih ada kolerasinya dengan dalil yang pertama (al-harakat). Hal ini
dikemukakan oleh Ibnu Thufail dalam kumpulan pokok pikiran yang terkait antara
satu denagn lainya, yakni sebagai berikut.[21]
1. Segala yang ada tersusun dari
materi dan bentuk.
2. Setiap materi membutuhkan bentuk.
3. Bentuk tidak mungkin bereksistensi
pengerak.
4. Segala yang ada (maujud)
untuk bereksistensi membutuhkan pencipta.
Dengan argumen di atas dapat dibuktikan
adanya Allah sebagai pencipta alam ini. Ia Mahakuasa dan bebas memilih serta
tidak berawal dan tidak berakhir.
Bagi orang yang meyakini alam kadim, pencipta
ini berfungsi mengeksistensikan wujud dari satu bentuk pada bentuk yang lain.
Sementara itu, bagi orang yang meyakini alam baharu, Pencipta ini berfungsi
menciptakan alam dari tidak ada menjadi ada, Pencipta (Allah) merupakan ‘illat
(sebab) dan alam merupakan ma’lul (akibat). Antara keduanya mempunyai
perbedaan yang tajam dan tidak bisa disamakan dalam berbagai aspek, seperti
Allah kekal dan kaya, sedangkan alam berkesudahan dan berkehendak.
Berbeda dengan Aristoteles dan Ibnu Bajjah,
Ibnu Thufail tidak hanya menggunakan argumen ini untuk membuktikan adanya allah
bagi orang yang menyakini alam kadim,melainkan juga bagi orang yang menyakini
alam baharu.
c. Argumen al-ghaiyyat dan
al-illahiyat
Argumen ini berdasarkan pada kenyataan bahwa
segala yang ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu. Ini merupakan inayah
dari allah. Argumen ini pernah dikemukakan Al-Kindi dan Ibnu Sina sebelumnya.
Tampaknya, argumen ini lebih banyak dipahami oleh ajaran Islam. Tiga ‘illat
(sebab) yang dikemukakan oleh Aristoteles, al-madat (materi), al-shurat
(bentuk), dan al-fa’ilat (pencipta), dilengkapi oleh Ibnu Sina dengan ‘illat
al-ghaiyyat (sebab tujuan).
Ibnu Thufail (juga filosof Muslim lain) yang
berpegang dengan argumen ini, sesuai dengan Qur’an, menolak bahwa alam
diciptakan oleh Allah secara kebetulan. Pencipta seperti itu bukan timbul dari
Pencipta Yang Maha Bijaksana.
Menurut Ibnu Thufail, alam ini tersusun
sangat rapi dan sangat teratur. Semua planet: matahari, bulan, dan lainya
beredar secara teratur. Begitu juga hewan, semuanya dilengkapi dengan yang
begitu rupa. Semua anggota tubuh tersebut mempuyai tujuan-tujuan tertentu yang
efektif kemanfatannya bagi hewan yang bersangkutan. Tampaknya, tidak satupun
ciptaan Allah ini dalam keadaan percuma.
Ilustrasi diatas dapat dijadikan bukti bahwa
allah terciptanya kerapian alam ini berdasarkan rahman dan rahim Allah SWT. [22]
Allah adalah pemberi wujud pada semua
makhluk. Ia mungkin dikhayalkan, karena khayalan hay mungkin terjadi terhadap
hal-hal yang indrawi. [23]
Kedati sifat identik dengan zat, Ibnu Thufail
masih membuat rincian sifat Allah yang ia bagi menjadi 2 kelompok.
a. Sifat-sifat yang menetapkan wujud
zat Allah, seperti ilmu, kudrat dan hikmah. Sifat-sifat ini adalah zat-Nya
sendiri. Hal ini untuk meniadakan ta’addud al-qudama (berbilangnya yang
kadim), sebagaimana paham mu’tazilah.
b. Sifat sabab yakni sifat-sifat yang
menafsirkan paham kebendaan dari zat Allah. Dengan demikian, Allah suci dari
kaitan dengan kebendaan.[24]
2. Fisika
Menurut Ibnu
Thufail alam ini kadim dan juga baharu. Alam kadim karena Allah menciptakannya
sejak azali, tanpa didahului oleh zaman (taqaddum zamany). Dilihat dari
esensinya, alam adalah baharu karena terwujudnya alam (ma’lul)
bergantung pada zat Allah (‘illat).
Pandangan Ibnu
Thufail mengenai kadim dan baharunya alam, tampaknya merupakan kompromi antara
pendapat Aristoteles yang menyatakan alam kadim dengan ajaran kaum otordok
Islam yang menyatakan alam baharu . untuk lebih jelasnya, Ibnu Thufail
memberikan contoh sebagai berikut.
Sebagaimana
ketika anda menggegam suatu benda mesti bergerak mengikuti gerak tangan anda.
Gerakan benda tersebut tidak terlambat di segi zaman dan hanya keterlambatan
dari segi zat. Demikianlah alam ini seluruhnya merupakan akibat dan diciptakan
oleh Allah tanpa zaman. Firman Allah: Sesungguhnya keadaan-Nya, apabila Ia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman
kepada-Nya : Jadilah, maka terjadilah ia, (QS. Yasin[36]:50).
3. Jiwa
Jiwa manusia,
menurut Ibnu Thufail, adalah makhluk yang tertinggi martabatnya. Manusia
terdiri dari dua unsur, yakni jasad dan roh (al-madat wa al-ruh). Badan
tersusun dari unsur-unsur, sedangkan
jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jisim dan bukan pula suatu daya yang ada
di dalam jisim. Setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari
badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama berada dalam
jasad akan hidup dan kekal.
Menurut Ibnu
Thufail (juga filosof Muslim sebelumnya) jiwa terdiri dari tiga tingkat: dari
yang rendah jiwa tumbuhan (al-nafs al-nabatiyyat), ke tingkat yang lebih
tinggi jiwa hewan (al-nafs al-hayawaniyyat), kemudian ke tingkat jiwa
yang martabatnya lebih tinggi dari keduanya jiwa manusia (al-nafs al-natiqat).
Mengenai
keabadian jiwa manusia dan hubungannya dengan Allah, Ibnu Thufail
mengelompokkan jiwa dalam tiga keadaan berikut.[25]
a. Jiwa yang sebelum mengalami jasad
telah mengenal Allah, mengagumi kebasaran dan keagungan-Nya, dan selalu ingat
kepada-Nya, maka jiwa seperti ini akan kekal dalam kebahagian.
b. Jiwa yang telah mengenal Allah,
tetapi melakukan maksiat dan melupakan
Allah, jiwa seperti ini akan abadi dalam kesengsaraan.
c. Jiwa yang tidak pernah mengenal Allah
selama hidupnya, jiwa ini akan berakhir seperti hewan.
Agaknya Ibnu
Thufail meletakkan tanggung jawab manusia di hadapan Allah atas dasar
pengetahuannya tentang allah. Orang yang mengetahui Allah dan menjalakan
kebaikan akan kekal dalam kebahagiaan. Orang yang mengetahui allah, tetapi
harus melakukan perbuatan maksiat akan kekal dalam kesengsaraan. Orang yang
sama sekali tidak pernah mengetahui Allah, jiwanya akan lenyap seperti
lenyapnya jiwa hewan.
4. Epistomologi
Tahap pertama jiwa bukanlah suatu
tabularasa atau papan tulis kosong, imaji tuhan telah tersirat di dalamnya
sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan
pikiran yang jernih tanpa prasangka keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai kondisi awal semua pengetahuan,
merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong.
Setelah hal ini tercapai pengalaman, inteleksi dan
exstasi memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan
visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disiplin
jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk mendapatkan visi
semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu pihak, dan
kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi epistimologi
Ibnu Tufail.[26]
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal
lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi
berkat jiwa hewan yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera yang
kacau mencapai otak menyebarkanya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian
dikirimkan ke otak lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu
kesatuan perspektif.
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai
benda-benda yang oleh akal induktif, dengan akat-alat pembanding dan
pembedaannya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok
benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima
bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi
tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam iti tidaklah dapat
dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu
tidak dapat diamati secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan tampak
muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan
bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada
di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.[27]
Mengikuti pendapat Al Ghazali dan
mendahului pendapat Hume, Ibnu Thufail tidak melihat adanya kekuatan pada sebab
yang bias mendatangkan pengaruh sebagaimana biasanya. Empirisme Hume berakhir
dalam skeptisisme, tapi ketasawufan Ibnu Thufail membuatnya melihat bahwa
ikatan sebab akibat merupakan suatu tindak perpaduan yang berasal dari Tuhan, tapi
oleh Kant hal itu dianggap berasal dari bentuk apriori pemahaman. Ibnu Thufail sekaligus berada di depan Bacon, Hume dan Kant. Dia telah
mengemukakan terlebih dahulu metoda induktif ilmu modern; melihat
ketidakmampuan nalar teoritis untuk menjawab teka-teki mengenai kekekalan dan
penciptaan sementara dunia ini, juga ketidakmampuan akal induktif untuk
menetapkan suatu hubungan yang tegas antara sebab dan akibat, dan akhirnya
menjernihkan awan skeptisisme dengan membuat pernyataan bersama Al Ghazali bahwa
rangkaian sebab akibat itu merupakan tindakan terpadu Tuhan.
Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan
keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang
membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini,
kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat
dilihat secara langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa
menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar
telinga atau dirasa hati orang manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau
terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat,
didengar atau dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci hanya bisa
dilihat lewat cahaya didalam esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu
lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan
esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama[28]
Dalam
epistemologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari pancaindra.
Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi. Hal-hal
yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi. Ma’rifat dilakukan
dengan dua cara: pemikiran atau renungan akal, seperti yang biasa dilakukan
para filosof Muslim dan tasawuf, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum sufi.
Kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk esensi epistomologi Ibnu Thufail.[29]
Ma’rifat
dengan tasawuf, menurut Ibnu Thufail, dapat diperoleh dengan latihan-latihan
rohani dengan penuh kesungguhan. Semakin tinggi latihan ini, ma’rifat akan
semakin jelas, dan berbagai hakikat akan tersingkap. Sinar terang yang akan
menyenangkan, akan menlingkup orang yang melakukannya. Jiwanya menjadi sadar
sepenuhnya dan mengalami apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga,
dirasa oleh hati. Tasawuf merupakan ekstase yang tidak dapat dilukiskan dengan
kata-kata sebab kata-kata hanya merupakan simbol-simbol yang terbatas pada
pengamatan indrawi.[30]
5. Rekonsiliasi
(tawfiq) antara Filsafat dan Agama
Melalui roman
filsafat Hay Ibn Yaqzan, Ibnu Thufail menekankan bahwa antara filsafat
dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan
wahyu.
Allah tidak
hanya dapat diketahui dengan wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Hay yang bebas dari pengaruh ajaran
Nabi, dapat sampai ke tingkat tertinggi dari ma’rifat terhadap Allah, melalui
akalnya dan melalui kasyf ruhani yang ia peroleh dengan jalan latihan
kerohanian seperti berpuasa, shalat, dan lainnya.
Ibnu Thufail
menokohkan Hay sebagai personifikasi dari spirit alamiah manusia yang disinari
dari “atas”. Spirit tersebut mesti sesuai dengan ruh Nabi Muhammad, yang
ucapan-ucapannya perlu ditafsirkan secara metaforis.[31]
Ibnu Thufail
menyadari, mengetahui, dan berhubungan dengan Allah melalui pemikiran akal
murni, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus (ahl mal-ma’rifat).
Orang awam tidak mampu melakukannya. Justru itu, bagi orang awam sangat
diperlukan adanya ajaran agama yang dibawa oleh Nabi.
Agama
diturunkan untuk semua orang dalam segala tinggkatnya. Filsafat hanya dapat
dijangkau oleh orang-orang yang bernalar tinggi yang jumlahnya sedikit. Agama
melambangkan “dunia atas” (divine world) dengan lambang-lambang eksoteris.
Agama penuh dengan perbandingan, persamaan, dan persepsi-persepsi antropomorfis,
sehingga cukup mudah dipahami oleh orang banyak. Filsafat merupakan bagian dari
kebenaran esoteris, yang menafsirkan lambang-lambang itu agar diperoleh
pengertian-pengertian yang hakiki.
Kenyataanya,
Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan untuk merekonsiliasikan antara
filsafat dengan agama. Hay dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal
yang dapat berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan Absal, ia lambangkan sebagai
wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang membawa hakikat (kebenaran).
Sementara Salaman, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk eksoteris,
yang juga membawa kebenaran. Kebenaran yang dihalsilakan filsafat tidak
bertentangan (sejalan) dengan kebenaran yang dikehendaki agama karena sumbernya
sama, yakni Allah SWT.[32]
[1]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajaranya),(Bandung:
Pustaka Setia, 2009), 211.
[2]
Sirajudin Zar, Filsafat Islam, filosof dan filsafatnya,(Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004),
205.
[3]
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999), 102.
[4]
Sirajudin Zar,
[5]
Hasyimsyah Nasution,
[6]Mustofa,
Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, h. 272
[7]http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
[8]
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), 273.
[9] Ibid
[10] http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/otobiografi-ibnu-tufail.html
[11]
Ibnu Thufail Hayy ibn Yaqzhan, ditsahkik oleh Faruq Sa’ad, (Beirut:Dar
al-Afaq al-Jadidat, 1974), 105
[12]
Bakhtiar Husain, ibn Thufail,., 530
[13]
Muhammad ‘Athif Al-Iraqy, Al-Mitafiziqi min falsafat ibn Thufail,
(Kairo:Dar Al-Ma’arif, 1979) 46
[14]
Ibid. 48
[15]
Ibid. 51
[16]
Ringkasan cerita Hayy Ibn Yaqzan ini disarikan dari buku Ibnu Thufail,.,
105-235
[17]
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam islam, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1983), Cet II.. 85
[18]
Ibid . 86
[19]
Dedi Supriyadi,., hlm 217.
[20]
Al-Iraqy, al-mitajiziqi, 128
[21]
Ibid., 136
[22]
Ibid., 137-189
[23]
Bakhtiar Husain, Ibnu Thufail .,
[24]
Al-Iraqy, al-Mitafiziqa.., 145-149
[25]
Al-iraqy, al-Mitafiziqa, 91
[26]
Ibid, hal. 278
[27]
Ibid
[28]Mustofa,H.A,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 279
[29]
Bakhtiar Husain, Ibnu Thufail, 534
[30]
Ibid., 535
[31]
T.J de Boer, The History fo Philosophy in Islam, Edisi Bahasa Inggris
oleh Edward R. Jones BD, . 184
[32]Sirajudin
Zar,., 212-220.
0 komentar:
Posting Komentar