FALSAFAH
HAYY IBN YAQZAN
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah
“Sejarah Pemikiran Islam”
Dosen Pengampu:
Prof.
Dr. H. Mujamil Qomar, M.Ag
Dr.
Ngainun Na’im, M.Hi
Oleh:
MOHAMAD JULIANTORO (2841134015)
PROGRAM
PASCASARJANA
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
TULUNGAGUNG
DESEMBER
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu istimewa yang mencoba menjawab
masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena
masalah-masalah tersebut di luar jangkuan ilmu pengetahuan biasa, inilah yang
merupakan pengertian dari definisi filsafat.
Filsafat
Islam merupakan suatu ilmu yang di pelajari dengan ajaran Islam dalam membahas
hakikat kebenaran segala sesuatu.
Dalam makalah ini, pemalah sedikit
menjelaskan tokoh filsafat, yakni Ibnu Thufail mengenai tentang riwayat hidup dan karyanya, ajaran filsafat yang
didalamnya terdapat metafisika, jiwa, rekonsiliasi antara filsafat dan agama .
Yang akan di paparkan dalam bab
selanjutnya.
Islam telah mengembangkan sistem teologi yang
menekankan keesaan tuhan (tauhid) dan syariah, jauh sebelum filsafat Yunani
‘merasuki’ dunia Islam[1]Begitu
dominannya pandangan tauhid dan syariah ini, sehingga tidak ada suatu sistem
pun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan tauhid dan
pandangan syariah.
Meskipun demikian, bukan berarti umat Islam anti
terhadap filsafat. Hal ini terbukti dengan lahirnya sejumlah filosof muslim
yang memiliki independensi dalam alam berpikir tanpa tertawan oleh Platonisme
dan Aristotelian[2].
Bahkan, filosof muslim mampu melakukan kritikan terhadap beberapa pandangan
filosof-filosof Yunani tersebut serta memberikan solusi yang mencerahkan dunia
pemikiran.
Masing-masing filosof muslim tersebut memiliki titik
fokus dan cara berfilsafat yang menarik untuk dikaji. Di antaranya terdapat
nama Ibnu Thufail. Filsof muslim yang satu ini berupaya menyajikan filsafat
dalam bentuk yang unik. Melalui sebuah roman alegoris, ia mencoba menampilkan
materi filsafat yang cenderung ‘pelik’ dipahami oleh sebagian orang. Ia
wujudkan filsafat dalam bentuk sebuah karya yang ringan sehingga dapat dibaca
di ruang keluarga saat beristirahat dari rutinitas sehari-hari. Hayy ibn
Yaqzhan, itulah roman Ibnu Thufail yang monumental yang masih dapat kita
nikmati sampai saat sekarang.
Pada makalah ini, penulis akan menyajikan tentang
pemikiran Ibnu Thufail melalui roman Hayy Ibn Yaqzhan. Diawali dengan biografi
dan disertai dengan hikmah yang terdapat dalam roman Hayy Ibn Yaqzhan.
A. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana filsafat Hayy Ibn
Yaqzhan?
B. Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui filsafat Ibnu Thufail tentang Hayy Ibn Yaqzhan.
C.
Batasan Masalah
Kami selaku penyusun membatasi pembahasan hanya sampai
pada rumusan masalah yang telah disebutkan diatas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Filsuf muslim kedua belahan barat ini
hidup pada masa pemerintahan daulah Muwahhidun.[3]Nama
lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu ‘Abd Al-Malik ibnu Muhammad
ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Cadix, provinsi Granada, Spanyol
pada tahun 506 H/1110 M.[4]
Dan meninggal di kota Marraqesh, maroko pada tahun 581 H/1185 M. Ibnu Thufail
termasuk keturunan dalam keluarga suku Arab terkemuka, Qais. Dalam bahasa latin
ia populer dengan sebutan Abu Bacer. Sebagai seorang turunan suku Qais, ia
dengan mudah mendapat fasilitas belajar, apalagi kecintaanya kepada buku-buku
dan ilmu pengetahuan mengalahkan cintanya kepada sesama manusia.[5]
Sebagaimana filosof-filosof Muslim di
masanya (juga filosof-filosof yunani), Ibnu Thufail juga memiliki disiplin ilmu
dalam berbagai bidang (all round).Selain sebagai filosof, ia juga ahli
dalam ilmu kedokteran, matematika, astronomi, dan penyair yang sangat terkenal
dari Dinasti Al-Munawahhid Spanyol. Ia memulai kariernya sebagai dokter praktik
di Granada. Lewat ketenaranya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris
gubernur di provinsi itu.[6]
Kemudian, ia diangkat sebagai dokter pribadi Abu Yusuf Ya’qub al-Manshur,
khalifah daulah Muwahhidin (1163-1184 M), merangkap sebagai wazirnya.[7]
Pada masa Khalifah Abu Ya’qub
Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh besar dalam pemerintahan. Pada pihak
lain, Khalifah sendiri pecinta ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah
peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan
pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti
dikatakan R. Briffault, sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa.” Adapun
posisi Ibnu Thufail di sini adalah pakar dalam pemikiran filosofis dan ilmiah (sains)
tersebut.
Semasa hidupnya Ibnu Thufail menerima penghargaan dari
khalifah. Ketika meninggalpun, khalifah ikut menghadiri upacara pemakamannya.
Karya tulis yang masih dapat ditemukan sampai sekarang ialah hayy ibn
Yaqzhan (Roman Philosophique), yang judul lengkapnya hayy ibn
Yaqzhan fi Asrar al-Hikmat
al-Masyariqiyyah.[8]
B.
FILSAFATNYA
Untuk memaparkan pandangan-pandangan filsafat, Ibnu Tufail
memilih metode khusus dalam bentuk kisah filsafat, dengan bukunya yang terkenal
Hayy Ibn Yaqzhan. Kisah ini ditulis oleh ibnu Thufail sebagai jawaban
atas permintaaan seorang sahabatnya yang ingin mengetahui hikmah ketimuran (al-Hikmah
al-Masyriqiyyat)[9].Selain
itu berat dugaan tulisan Ibnu Thufail ini erat kaitannya dengan serangan
Al-Ghazali terhadap dunia filsafat. Di kala itu, orang-orang takut berfilsafat
dan usaha-usaha pada filosof Muslim yang telah mendamaikan filsafat dengan
agama telah sirna sama sekali. Juga buku-buku filsafat yang selama ini hanya
untuk orang-orang tertentu, sekarang telah dapat pula dipahami oleh orang-orang
awam. Karena itu, amat logis buku Ibnu Thufail ini ingin menetralisasi keadaan
dan ingin mengembalikan filsafat ketempat yang semula, yakni filsafat bukanlah
“barang” haram. Pada sisi lain, agar filsafat dapat dimengerti oleh orang-orang
awam, filsafat dikomunikasikan lewat kisah yang amat menarik. Biasanya
komunikasi melalui kisah (cerita), diminati, dan cepat diterima. Dengan
demikian, bila hal ini dapat diterima, tujuan yang hendak dicapai Ibnu Thufail
melebihi akibat serangan Al-Ghazali, yakni ingin memasyarakatkan filsafat.
Dalam kisah dapat dilihat pendirian Ibnu Thufail tentang
hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam
sekitarnya, dan hubungan antara akal dan agama.
Sebelum menulis kisah ini, Ibnu Thufail telah mendalami
pandangan filosof-filosof muslim sebelumnya. Hal ini terbukti dengan adanya
kritik-kritik yang ia lontarkan terhadap Ibnu bajjah, Al-Farabi, Ibnu Shina dan
Al-Ghazali.
Ibnu Bajjah ia nilai tidak berpandangan jauh, membangun
filsafat hanya atas dasar kaidah-kaidah akal dan logika, sedangkan dasar
pengalaman yang bersifat kasyf ruhana (tasawuf) tidak mendapat
perhatian.[10]Al-farabi
ia pandang bersikat ragu-ragu dan tidak memberikan kepastian dalam
masalah-masalah filsafat, seperti dalam bukunya, al-Millat al-Fadhilat)
akan kekalnya selamanya sesudah mati dalam kesengsaraan, tetapi dalam bukunya al-siyasat
al madaniyyat, ia nyatakan pula bahwa yang kekal hanya jiwa utama (al-nufus
al-fadhilat)[11].
Ibnu Sina ia kritik sebagai filosof yang tidak konsisten. Ibnu Sina menulis
kitab al-Syifa’ dan menyatakan berdasarkan mazhab Aristoteles. Kata Ibnu
Thufail, banyak hal yang disebut Ibnu Shina dalam al-Syifa’ tidak ada dalam
buku aristoteles. Disisi lain, gaya bahasa Ibnu Sina sering tidak dipahami
maksudnya.[12]
Al-Ghazali menurut Ibnu Thufail banyak menulis buku yang ditujukan bagi
orang-orang awam. Akibatnya, ia mempunyai pendirian “dua muka” (munafik). Dalam buku Tahafut al-Falasifat, Al-Ghazali
mengafirkan para filosof Muslim yang berpendapat bahwa di akhirat nanti akan
menerima pembalasan kesenangan (surga) atau kesengsaraan (neraka) adalah rohani
semata. Namun, dalam buku al-mizan dan al-munqiz min al dhala, ia
membenarkan dan menerima pendapat para filosof Muslim yang ia kafirkan
itu. [13]Dengan
demikian berati Al-Ghazali mengafirkan dirnya sendiri.
Sebelum filsafat Ibnu Thufail dipaparkan lebih jauh, ada
baiknya dikemukakan ringkasan kisah Hayy Ibn Yaqzan sebagi berikut: [14]
Dikepulauan India ada sebuah pulau yang tidak berpenghuni manusia.
Pulau itu sepi dan terpencil, beriklim sedang dan teletak di garis khatulistiwa
yang oleh Harun Nasution dikatakan Kepulauan Indonesia. [15] Pendapat
ini ada benarnya karena Kepulauan Indonesia dilewati garis Khatulistiwa. Selain
itu, kebiasaan masa lalu menyebut Kepulauan Timur ini dengan Kepulauan India.
Di pulau ini lahir seorang bayi secara alamiah, tanpa ayah dan ibu. Berarti
tulisannya ini Ibnu Thufail mendukung teori evolusi.
Riwayat lain menyebutkan seorang perempuan telah kawin rahasia
dengan seorang laki-laki dan memperoleh seorang bayi laki-laki karena takut
kepada kakaknya yang menjadi raja ditempat itu, perempuan ini memasukkan
bayinya ke dalam peti dan melemparkannya ke laut. Dengan hempasan ombak, peti
itu tersangkut di pulau terpencil yang tidak berpenghuni manusia. Bayi yang
dimaksud adalah Hayy. Seekor rusa yang anaknya baru saja mati segera mendekati
peti. Peti yang ada dalam peti itu ia kira anaknya. Sebagai lazimnya seorang
ibu, rusa menyusui bayi itu dan sebaliknya bayi itu memandang rusa yang
menyusuinya sebagai ibunya.
Hayy tumbuh dengan sehat. Sejalan dengan pertumbuhan
jasmaninya, jiwa dan pemikirannya semakin berkembang. Ia memperhatikan dan
mulau berpikir tentang segala sesuatu yang ada disekitarnya. Ia menemukan cara
memenuhi kebutuhan hidupnya. Perasaan dan pikirannya mendorong untuk mengambil
keputusan bahwa alat kelaminnya perlu ditutup. Lebih daripada itu ia mampu
mempergunakan akalnya sedemikian rupa sehingga dapat memahami hakikat alam
empiris dan mampi berfikir hal-hal yang bersifat metafisis. Berkat rahmat Allah
ia memiliki kecerdasan yang luas biasa. Pemikirannya yang mendalam tentang segala
sesuatu yang ditangkap pancaindra, menimbulkan keyakinan adanya Allah, pencipta
alam semesta. Keyakinan akan adanya Allah sebagai kebenaran yang hakiki,
mendorong Hayy untuk berusaha berhubungan dan dekat dengan-Nya. Melalui
pemikiran falsafi. Ia mengetahui hakikat-hakikat alam. Ia pun memperoleh
ma’rifah hakiki dan kebahagiaan yang sejati. Untuk mencapai maksut tersebut, ia
melatih diri dengan berpuasa selama 40 hari dalam sebuah gua. Dengan penuh
kesungguhan (ber-mujadat) dan keiklasan, ia berusaha membebaskan dirinya
dari duniaempiris melalui komtempelasi penuh kepada Allah. Akhirnya ia
memperoleh apa yang ia kehendaki yakni ittihad (menunggal dengan Allah) atau ittishal
(berhubungan langsung) dengan Allah terus-menerus. Ibnu Thufail berusaha
mendramatisikan perkembangan nalar teoritis manusia dari persepsi rasa yang
masih kasar menjadi visi indah tentang Allah.
Di saat ia berada dalam situasi dan pengalaman esoteris
seperti itu, ia berjumpa dengan seorang laki-laki, namanya Absal. Absal datang
dari suatu pulau yang tidak begitu jauh dari tempat tinggal Hayy. Absal mengira
bahwa pulau dimana Hayy berada, tidak berpenghuni manusia dan ia kira cocok
untuk mengasingkan diri dari masyarakat. Di pulau ini ia berusaha untuk
menjalanka ketakwaan dan kesalehan. Hayy tidak memahami bahasa manusia. Setelah
absal mengajarinya, keduanya berkomunikasi secara lancar, saling menceritakan
pengalaman masing-masing, dan saling bertukar pikiran. Absal memberitahu Hayy
tentang konsep-konsep Qur’ani, yang berkenaan dengan Allah, malaikat-malaikat,
nabi-nabi dan lain-lain.
Melalui informasi yang diperoleh dari Absal, Hayy menyadari
bahwa metode falsafi ia miliki telah membawa dirinya ketingkat pengetahuan dan
ma’rifat yang sejalan dengan ajaran agama yang diceritakan Absal. Ia pun tahu
bahwa orang yang membawa keterangan dengan ucapan yang benar itu adalah rasul
dan ia percaya kepadanya dan mengakui kerasulannya. Sebaliknya, Hayy juga
menjelaskan pengalamannya dengan Allah kepada Absal. Keterangan Hayy ini
memperkuat keyakinan Absal tentang ajaran agama yang diterimanya dan bertemulah
akal dan wahyu (al-manqul wa al-ma’qul)[16]atas
ajakan Hayy bermaksud memberitahukan ma’rifah hakiki yang ia peroleh kepada
penghuni kepulau itu.
Pulau itu diperintah oleh seorang raja yang bernama Salman,
sahabat Absal. Salman menerima ajaran agama seperti yang disampaikan nabi,
dengan kata lain Salman lebih tertarik pada arti lahir (eksoteris) nash. Ia
menyukai hidup ditengah masyarakat dan melarang orang lain untuk hidup menyepi,
‘uzlah.
Setelah absal mengemukakan ilmu ma’rifat hakiki yang dialami
Hayy, penduduk pulau itu menerima Hayy dengan penuh antusias. Namun, setelah
Hayy menjelaskan pengetahuan dan pemikiran filsafatnya, ternyata penduduk
mencemoohnya. Hayy mendapat pelajaran dari pengalamannya bahwa orang awam tidak
memahami dan tidak mampu menerima ma’rifat sejati. Ma’rifat hanya dapat
dipahami oleh orang-orang khusus, yang dalam agama telah mencapai martabat
lebih tinggi dibandingkan dengan orang awam. Orang awam tidak mempu menjangkau konsep-konsep
murni. Hayy pun menyadari bahwa pergaulan membawa kerusakan bagi masyarakat dan
untuk memperbaikinya sangat diperlukan ajaran agama yang dibawa oleh nabi.
Karena nabilah yang paling mengenal jiwa manusia pada umumnya. Ia mohon maaf
pada salman dan warganya, dan mengakui kekeliruannya sendiri karena memaksa
mereka mencari makna yang tersembunyi dalam kitab suci al-quran. Pesan
perpisahannya ialah mereka harus berpegang teguh kepada ketentuan hukum syariat
yang telah mereka yakini selama ini. Mereka mengisi sisa umurnya dengan
beribadah sepenuhnya kepada Allah
C.
Ajaran Filsafat Ibnu
Thufail
Secara filosofis, karya Ibnu Thufail Hay ibn Yaqzan
merupakan suatu pemaparan yang hebat tentang teori Ibnu Thufail mengenai
pengetahuan, yang berupaya menyelaraskan Aristoteles dengan Neo-Platonis di
satu pihak, dan Al-Ghazali dengan Ibnu Bajjah dipihak lain. Al-Ghazali sangat
kritis dan dogmatis terhadap rasionalismenya Aristoteles, tetapi Ibnu Bajjah
adalah pengikut sejati Aristoteles. Ibnu Thufail, mengikuti jalan tengah
menjembatani jurang pemisah antara dua pihak itu. Sebagai seorang rasionalis,
dia memihak Ibnu Bajjah dalam melawan Al-Ghazali dan mengubah tasawuf menjadi
rasionalisme. Adapun sebagai seorang ahli tasawuf, dia memihak Al-Ghazali dalam
melawan Ibnu Bajjah dan mengubah rasionalisme menjadi tasawuf.[17]
1.
Metafisika (ketuhanan)
Dengan akalnya Hay, ia telah mengetahui adanya Allah. Dalam
membuktikannya adanya Allah, Ibnu Thufail mengemukakan tiga argumen sebagai
berikut.
a.
Argumen gerak (al-harakat)
Gerak alam ini menjadi
bukti tentang adanya allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu
maupun bagi orang yang menyakini alam kadim.
Bagi yang yang menyakini
alam baharu (hadist), berarti alam ini sebelumnya tidak ada, kemudian
menjadi ada. Untuk menjadi ada mustahil dirinya sendiri mengadakan. Oleh karena
itu, mesti ada penciptanya. Pencipta inilah yang menggerakkan alam dari tidak
ada menjadi ada, yang disebutnya dengan allah. Sementara itu, bagi orang yang
menyakini alam kadim, tidak berawal dan tidak berakhir. Karena zaman tidak
mendahuluinya, arti kata gerak ini tidak didahului oleh diam. Adanya gerak ini
menunjukkan secara pasti adanya Penggerak (Allah).[18]
Secar faktual, disinilah
terletaknya keistimewaan argumen gerak Ibnu Thufail yang dapat membuktikan
Allah, baik bagi orang yang menyakini alam kadim maupun orang yang menyakini
alam baharu. Bagi orang yang menyakini alam kadim, penggerak ini berfungsi
mengubah materi di alam dari potensial ke aktual, arti kata mengubah satu
bentuk ada kepada bentuk yang lain. Sementara itu, bagi orang yang menyakini
alam baharu, pengerak ini berfungsi mengubah alam dari tidak ada (al-adam)
menjadi ada. Argumen gerak ini sebagai bukti alam kadim dam baharunya belum
pernak dikemukakan oleh filosof muslim mana pun sebelumnya. Dengan argumen ini,
Ibnu Thufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui
adanya Allah.
b.
Argumen materi (al-madat)
dan bentuk (al-shurat)
Argumen ini didasarkan
pada ilmu fisika dan masih ada kolerasinya dengan dalil yang pertama (al-harakat).
Hal ini dikemukakan oleh Ibnu Thufail dalam kumpulan pokok pikiran yang terkait
antara satu denagn lainya, yakni sebagai berikut.[19]
1.
Segala yang ada tersusun
dari materi dan bentuk.
2.
Setiap materi membutuhkan bentuk.
3.
Bentuk tidak mungkin
bereksistensi pengerak.
4.
Segala yang ada (maujud)
untuk bereksistensi membutuhkan pencipta.
Dengan argumen di atas
dapat dibuktikan adanya Allah sebagai pencipta alam ini. Ia Mahakuasa dan bebas
memilih serta tidak berawal dan tidak berakhir.
Bagi orang yang
meyakini alam kadim, pencipta ini berfungsi mengeksistensikan wujud dari satu
bentuk pada bentuk yang lain. Sementara itu, bagi orang yang meyakini alam
baharu, Pencipta ini berfungsi menciptakan alam dari tidak ada menjadi ada,
Pencipta (Allah) merupakan ‘illat (sebab) dan alam merupakan ma’lul
(akibat). Antara keduanya mempunyai perbedaan yang tajam dan tidak bisa
disamakan dalam berbagai aspek, seperti Allah kekal dan kaya, sedangkan alam
berkesudahan dan berkehendak.
Berbeda dengan
Aristoteles dan Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail tidak hanya menggunakan argumen ini
untuk membuktikan adanya allah bagi orang yang menyakini alam kadim,melainkan
juga bagi orang yang menyakini alam baharu.
c.
Argumen al-ghaiyyat dan
al-illahiyat
Argumen ini berdasarkan
pada kenyataan bahwa segala yang ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu. Ini
merupakan inayah dari allah. Argumen ini pernah dikemukakan Al-Kindi dan Ibnu
Sina sebelumnya. Tampaknya, argumen ini lebih banyak dipahami oleh ajaran Islam.
Tiga ‘illat (sebab) yang dikemukakan oleh Aristoteles, al-madat
(materi), al-shurat (bentuk), dan al-fa’ilat (pencipta),
dilengkapi oleh Ibnu Sina dengan ‘illat al-ghaiyyat (sebab tujuan).
Ibnu Thufail (juga
filosof Muslim lain) yang berpegang dengan argumen ini, sesuai dengan Qur’an,
menolak bahwa alam diciptakan oleh Allah secara kebetulan. Pencipta seperti itu
bukan timbul dari Pencipta Yang Maha Bijaksana.
Menurut Ibnu Thufail,
alam ini tersusun sangat rapi dan sangat teratur. Semua planet: matahari,
bulan, dan lainya beredar secara teratur. Begitu juga hewan, semuanya
dilengkapi dengan yang begitu rupa. Semua anggota tubuh tersebut mempuyai
tujuan-tujuan tertentu yang efektif kemanfatannya bagi hewan yang bersangkutan.
Tampaknya, tidak satupun ciptaan Allah ini dalam keadaan percuma.
Ilustrasi diatas dapat
dijadikan bukti bahwa allah terciptanya kerapian alam ini berdasarkan rahman
dan rahim Allah SWT. [20]
Allah adalah pemberi
wujud pada semua makhluk. Ia mungkin dikhayalkan, karena khayalan hay mungkin
terjadi terhadap hal-hal yang indrawi. [21]
Kedati sifat identik
dengan zat, Ibnu Thufail masih membuat rincian sifat Allah yang ia bagi menjadi
2 kelompok.
a.
Sifat-sifat yang menetapkan
wujud zat Allah, seperti ilmu, kudrat dan hikmah. Sifat-sifat ini adalah
zat-Nya sendiri. Hal ini untuk meniadakan ta’addud al-qudama
(berbilangnya yang kadim), sebagaimana paham mu’tazilah.
b.
Sifat sabab yakni
sifat-sifat yang menafsirkan paham kebendaan dari zat Allah. Dengan demikian,
Allah suci dari kaitan dengan kebendaan.[22]
2.
Fisika
Menurut Ibnu Thufail alam ini kadim dan juga baharu. Alam
kadim karena Allah menciptakannya sejak azali, tanpa didahului oleh zaman (taqaddum
zamany). Dilihat dari esensinya, alam adalah baharu karena terwujudnya alam
(ma’lul) bergantung pada zat Allah (‘illat).
Pandangan Ibnu Thufail mengenai kadim dan baharunya alam, tampaknya
merupakan kompromi antara pendapat Aristoteles yang menyatakan alam kadim
dengan ajaran kaum otordok Islam yang menyatakan alam baharu . untuk lebih
jelasnya, Ibnu Thufail memberikan contoh sebagai berikut.
Sebagaimana ketika anda menggegam suatu benda mesti bergerak mengikuti
gerak tangan anda. Gerakan benda tersebut tidak terlambat di segi zaman dan
hanya keterlambatan dari segi zat. Demikianlah alam ini seluruhnya merupakan
akibat dan diciptakan oleh Allah tanpa zaman. Firman Allah: Sesungguhnya
keadaan-Nya, apabila Ia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepada-Nya :
Jadilah, maka terjadilah ia, (QS. Yasin[36]:50).
3.
Jiwa
Jiwa manusia, menurut Ibnu Thufail, adalah makhluk yang
tertinggi martabatnya. Manusia terdiri dari dua unsur, yakni jasad dan roh (al-madat
wa al-ruh). Badan tersusun dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jisim dan
bukan pula suatu daya yang ada di dalam jisim. Setelah badan hancur atau
mengalami kematian, jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang pernah
mengenal Allah selama berada dalam jasad akan hidup dan kekal.
Menurut Ibnu Thufail (juga filosof Muslim sebelumnya) jiwa terdiri
dari tiga tingkat: dari yang rendah jiwa tumbuhan (al-nafs al-nabatiyyat),
ke tingkat yang lebih tinggi jiwa hewan (al-nafs al-hayawaniyyat),
kemudian ke tingkat jiwa yang martabatnya lebih tinggi dari keduanya jiwa
manusia (al-nafs al-natiqat).
Mengenai keabadian jiwa manusia dan hubungannya dengan Allah,
Ibnu Thufail mengelompokkan jiwa dalam tiga keadaan berikut.[23]
a.
Jiwa yang sebelum mengalami
jasad telah mengenal Allah, mengagumi kebasaran dan keagungan-Nya, dan selalu
ingat kepada-Nya, maka jiwa seperti ini akan kekal dalam kebahagian.
b.
Jiwa yang telah mengenal
Allah, tetapi melakukan maksiat dan
melupakan Allah, jiwa seperti ini akan abadi dalam kesengsaraan.
c.
Jiwa yang tidak pernah
mengenal Allah selama hidupnya, jiwa ini akan berakhir seperti hewan.
Agaknya Ibnu Thufail meletakkan tanggung jawab manusia di
hadapan Allah atas dasar pengetahuannya tentang allah. Orang yang mengetahui
Allah dan menjalakan kebaikan akan kekal dalam kebahagiaan. Orang yang
mengetahui allah, tetapi harus melakukan perbuatan maksiat akan kekal dalam
kesengsaraan. Orang yang sama sekali tidak pernah mengetahui Allah, jiwanya
akan lenyap seperti lenyapnya jiwa hewan.
4.
Epistomologi
Dalam epistemologi, Ibnu Thufail menjelaskan bahwa ma’rifat
itu dimulai dari pancaindra. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh
pengetahuan indrawi. Hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan
akal intuisi. Ma’rifat dilakukan dengan dua cara: pemikiran atau renungan akal,
seperti yang biasa dilakukan para filosof Muslim dan tasawuf, seperti yang
biasa dilakukan oleh kaum sufi. Kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk
esensi epistomologi Ibnu Thufail.[24]
Ma’rifat dengan tasawuf, menurut Ibnu Thufail, dapat
diperoleh dengan latihan-latihan rohani dengan penuh kesungguhan. Semakin
tinggi latihan ini, ma’rifat akan semakin jelas, dan berbagai hakikat akan
tersingkap. Sinar terang yang akan menyenangkan, akan menlingkup orang yang
melakukannya. Jiwanya menjadi sadar sepenuhnya dan mengalami apa yang tidak
pernah dilihat mata, didengar telinga, dirasa oleh hati. Tasawuf merupakan
ekstase yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata sebab kata-kata hanya
merupakan simbol-simbol yang terbatas pada pengamatan indrawi.[25]
5.
Rekonsiliasi (tawfiq)
antara Filsafat dan Agama
Melalui roman filsafat Hay Ibn Yaqzan, Ibnu Thufail
menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata
lain, akal tidak bertentangan dengan wahyu.
Allah tidak hanya dapat diketahui dengan wahyu, tetapi juga
dapat diketahui dengan akal. Hay yang
bebas dari pengaruh ajaran Nabi, dapat sampai ke tingkat tertinggi dari
ma’rifat terhadap Allah, melalui akalnya dan melalui kasyf ruhani yang ia
peroleh dengan jalan latihan kerohanian seperti berpuasa, shalat, dan lainnya.
Ibnu Thufail menokohkan Hay sebagai personifikasi dari spirit
alamiah manusia yang disinari dari “atas”. Spirit tersebut mesti sesuai dengan
ruh Nabi Muhammad, yang ucapan-ucapannya perlu ditafsirkan secara
metaforis.[26]
Ibnu Thufail menyadari, mengetahui, dan berhubungan dengan
Allah melalui pemikiran akal murni, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
khusus (ahl mal-ma’rifat). Orang awam tidak mampu melakukannya. Justru
itu, bagi orang awam sangat diperlukan adanya ajaran agama yang dibawa oleh
Nabi.
Agama diturunkan untuk semua orang dalam segala tinggkatnya.
Filsafat hanya dapat dijangkau oleh orang-orang yang bernalar tinggi yang
jumlahnya sedikit. Agama melambangkan “dunia atas” (divine world) dengan
lambang-lambang eksoteris. Agama penuh dengan perbandingan, persamaan,
dan persepsi-persepsi antropomorfis, sehingga cukup mudah dipahami oleh
orang banyak. Filsafat merupakan bagian dari kebenaran esoteris, yang
menafsirkan lambang-lambang itu agar diperoleh pengertian-pengertian yang
hakiki.
Kenyataanya, Ibnu Thufail berusaha dengan penuh kesungguhan
untuk merekonsiliasikan antara filsafat dengan agama. Hay dalam roman filsafatnya,
ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Allah. Sedangkan
Absal, ia lambangkan sebagai wahyu (agama) dalam bentuk esoteris, yang
membawa hakikat (kebenaran). Sementara Salaman, ia lambangkan sebagai wahyu
(agama) dalam bentuk eksoteris, yang juga membawa kebenaran. Kebenaran
yang dihalsilakan filsafat tidak bertentangan (sejalan) dengan kebenaran yang
dikehendaki agama karena sumbernya sama, yakni Allah Swt.[27]
[2] Majid
Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 5
[3]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajaranya),(Bandung:
Pustaka Setia, 2009), hlm 211.
[4]
Sirajudin Zar, Filsafat Islam, filosof dan filsafatnya,(Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), hlm 205.
[5]
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999), hlm 102.
[6]
Sirajudin Zar,loc. cit.
[7]
Hasyimsyah Nasution, loc. cit.
[8]
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), 273.
[9] Ibnu
Thufail Hayy ibn Yaqzhan, ditsahkik oleh Faruq Sa’ad, (Beirut:Dar al-Afaq
al-Jadidat, 1974), 105
[10]
Bakhtiar Husain, ibn Thufail, op.cit., 530
[11]
Muhammad ‘Athif Al-Iraqy, Al-Mitafiziqi min falsafat ibn Thufail, (Kairo:Dar
Al-Ma’arif, 1979) 46
[12] Ibid.
48
[13] Ibid.
51
[14]
Ringkasan cerita Hayy Ibn Yaqzan ini disarikan dari buku Ibnu Thufail, op.cit.,
105-235
[15] Harun
Nasution, Akal dan Wahyu dalam islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983),
Cet II.. 85
[16] Ibid .
86
[17] Dedi
Supriyadi, op cit., hlm 217.
[18]
Al-Iraqy, al-mitajiziqi, op..cit.,, 128
[19] Ibid.,
136
[20] Ibid.,
137-189
[21]
Bakhtiar Husain, Ibnu Thufail ., loc.cit
[22]
Al-Iraqy, al-Mitafiziqa. Op.cit ., 145-149
[23]
Al-iraqy, al-Mitafiziqa, op.cit., 91
[24]
Bakhtiar Husain, Ibnu Thufail, op.cit., 534
[25] Ibid.,
535
[26] T.J de
Boer, The History fo Philosophy in Islam, Edisi Bahasa Inggris oleh
Edward R. Jones BD, . 184
[27]Sirajudin
Zar,op cit., hlm 212-220.
0 komentar:
Posting Komentar